Di tengah
malam yang sunyi. Aku masih terjaga. Melihatnya yang tak berdaya di atas
ranjang. Wajah dan tubuhnya putih pucat. Bersih tanpa noda. Tidak ada kerutan.
Tidak ada kesusahan di sana.
Sudah tiga tahun aku
mengenalnya. Dia masih sama seperti saat pertama kita bertemu. Hanya saja kini
tubuhnya bertambah kurus.
“Sampai kapan kamu akan terus
seperti ini?”, tanyaku lirih.
“Aku tidak tahu. Tolong segera
perlakukan aku dengan baik”, pintanya.
Aku membalikkan badan. Telapak
tangan kukepal dengan erat. “Aku...belum bisa”.
“Kenapa?”.
Diam. Aku tidak berani menjawab.
Sudah terlalu sering aku menghadapi situasi seperti ini. Kuharap dia sudah
mengerti dengan keadaanku.
Keluar sejenak ke beranda,
memandangi langit malam yang bertabur bintang. Berusaha mencari arti
keberadaannya dalam hidupku.
“Dimanakah harus kutemukan
solusi dari masalahmu ini?”, tanyaku pada bintang-bintang.
Masuk kembali ke kamar. Kali ini
aku membuka lembaran-lembaran kisah yang pernah kutorehkan padanya. Sungguh
indah dan dulu begitu mudah untuk dilewati. Tanpa kusadari air mata itu
meluncur.
“Kenapa kamu menangis?”,
tanyanya.
Buru-buru kuhapus air mata ini.
“Maaf membuatmu khawatir. Aku tidak apa-apa”.
Aku memandanginya lagi. Kali ini
lebih lekat. “Maafkan aku, Kertas. Aku belum bisa menemukan ide bagaimana harus
menorehkan kisah kita kali ini. Aku mengalami kemacetan ide dalam mendesain”.
********************************************************************************
Cerita di atas sebuah flash fiction yang saya ikuti bersama teman-teman NBC Unsri yang tergabung dalam sebuah buku antologi Macet!
Banyak cerita Macet! lainnya dalam berbagai versi yang bisa Anda pesan melalui www.nulisbuku.com
Jangan sampai ketinggalan membaca karya pertama NBC Unsri ;)
No comments:
Post a Comment